Embun
Di Atas Ombak
Oleh Mujtahid
Seorang wanita yang dianggap hebat
oleh dunia adalah karena karya kreatif mereka. Dengan sentuhan yang
mengatasnamakan keindahan bisa menjadikan nilai seni yang tiada tara. Tetapi
yang membuat mereka hancur dan tak menyadarinya, hanya karena tertutup oleh
pesona dunia lewat tarian manja kemewahan yang menuntun mereka membuat sebuah
keputusan untuk mengorbankan masa depan mereka
di keabadian. Lekuk tubuh yang seharusnya menjadi sesuatu yang tak layak
menjadi konsumsi publikpun mereka rela ditebarkan dengan mengatsnamakan seni.
Rafa adalah bagian dari keindahan
dunia yang terbungkus oleh kaca keimanan yang tak akan mampu ditembus oleh
tangan-tangan setan. Aura surgawi melekat dalam dirinya. Wanita yang begitu
sempurna dalam balutan ayat-ayat nan kaffah
dari Sang penguasa keindahan. Ia terlahir dari seorang yang begitu memahami
agama. Seorang kyai kampung yang mempunyai lebih dari seratus santri. Sebulan
lalu tokoh parpol akan memberi bantuan dengan sebuah ikatan atas nama politik.
Mereka menjanjikan dua lokal bangunan dengan fasilitas yang cukup memadai,
namun dari balik bibir lelaki tua itu tak terlihat senyum. Ia nampak tak
memberi respon akan bantuan tersebut. Sehingga para tokoh politik itu pergi
dengan rasa malu. Ia tak menyadari kalau infaq dengan kontrak politik tidak
akan memberikan berkah apa-apa. Di balik ruangan dan bilik yang terbuat dari
bambu dan atap dari asbes hasil infaq wali santri akan memberi jaminan
kebahagiaan.
Dengan sebuah tekad yang tak akan
pernah dipikir oleh siapapun Rafa memberanikan diri untuk mengungkap sebuah
misteri. Misteri yang mungkin tak akan pernah terpikir oleh ayahnya.
“Abah. Afa ingin sekolah di Yogya,
Bah?” ucap wanita itu dengan nada penuh keraguan.
“Ada apa, Nak?” Jawab ayahnya
dengan nada datar.
“Begini Bah. Afa ingin melanjutkan
sekolah di SMA Negeri paling terkenal di Yogya.” Jawabnya.
“Terus siapa yang mengisi sekolah
kita. Madrasah yang sekarang muridnya sudah memilih sekolah Negeri yang wah
dibanding ilmu agama?” Tegas ayahnya dengan nada agak tinggi sambil berdiri.
“Tapi Afa ingin ikut seperti Mas
Kholil.” Sahutnya cepat.
“Terus apa yang bisa dibanggakana
dari Kholil. Ia sekarang sukses dengan dunianya, tetapi Ia lupa dengan jati
dirinya. Yang Ia pikirkan hanya mengumpulkan banyak uang.” Ayah terkejut dengan
tekad anaknya.
“Tapi Abah.” Sanggah remaja jelita
itu.
“Tidak ada tapi. Engkau adalah
wanita yang mungkin akan menjadi embun di kemarau panjang, atau oase di padang
gersang. Yakinlah, jika kebahagiaanmu bukan karena mengejar dunia.” Ayah meyakinkan.
Rafa sekolah di Madrasah Aliyah
Ma’arif dekat dengan rumahnya. Madrasah yang didirikan oleh infaq dari warga.
Mereka bahu-membahu mengerjakannya, tanpa bantuan pemerintah sepeserpun. Namun
Tahun lalu dari sekolah ini menjadi buah bibir, karena salah satu siswanya
menjadi juara pidato bahasa Arab tingkat Provinsi. Dan yang lebih hebatnya.
Sekolah kecil yang mampu mengalahkan sekolah almamater dari Kholil kakak
kesayangannya. Dalam lomba olimpiade matematika tingkat provinsi, madrasah
kecil dengan 76 siswa ini mampu membuat sejarah sebagai terbaik pertama
mengalahkan sekolah-sekolah yang siswanya mencapai ribuan.
Rafa adalah sekeping permata yang
harus terkontaminasi oleh peradaban. Lagi-lagi media sosial dan teknologi
informasi yang menjadikannya tak lagi mencintai kitab-kitab yang ayahnya baca
setiap hari di depan para santrinya. Ia lebih suka berselancar di dunia maya
dengan iming-iming kepuasan batin. Apa yang ia cari dalam sesaat sudah bisa ia
nikmati. Walaupun itu semua semu.
Kehebatan ayahnya dalam bidang
agama tak menjadikannya seorang yang dekat dengan Tuhannya. Ia lebih memilih
gemerlap dunia dengan sejuta pesona semunya. Mimpi-mimpi dan doa yang
keluarganya panjatkan tak terbalas oleh takdir dari Tuhannya. Mungkinkah ia
akan menjadi Kan’an di era modern. Seorang anak yang menantang kehendak dan
rido dari kedua orang tuanya. Bukankan rido Tuhan tertulis atas rido orang
tuanya. Inilah yang mungkin menjadi sebuah pembungkus takdir yang tak kenal
rupa. Ia akan menyusup di antara kehendak yang hadir dari nafsu. Rafa telah
dibuatakan oleh keinginan semu.
Air mata pagi itu dengan iringan
hujan yang menghapus sucinya embun di atas pucuk ilalang. Tak lagi ada sebuah
harapan yang muncul dari seorang ayah atas anaknya. Anak yang memilih dunianya.
Ia tahu bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga, namun juga ia tak tega
melihat pertunjukkan cerita duka. Air mata dari seorang dara yang amat
dikasihinya. Ia benar-benar telah meremukkan segala rasa atas diri dan hatiny.
Dengan memikul beban di hati yang kian menahan, lelaki tua itupun luluh oleh
kehendak anaknya. Rafa pergi ke Jogja untuk mengejar cerita indahnya, walaupun
dalam simpul yang mengikat dengan keraguan ayahnya.
Nasi telah menjadi bubur, dan air
mata yang jatuh takkan lagi bisa dipungut oleh apapun. Masa yang datang dengan
sejuta ujian terus mengancam. Di altar nan suci dengan alunan doa dan air mata
yang terus menjadi penghias cerita. Rafa telah menjadi gadis manja yang tak
alagi memegang teguh ajaran ayahnya. Ia bergaul dengan mengatasnamakan modern
dan trend. Jilbab yang selalu menghiasi wajah ayunya berubah menjadi angker. Karena
yang nampak hanya segaris lipstik dengan rona merah di pipinya. Tak lagi air
wudhu membasahi di waktu pagi, ketika 2 rekaat sholat duha menjadi detak
jantungnya. Ia telah hilang kemudi.
Ayahnya tak pernah tahu apa yang
dilakukan Rafa. Karena yang ia tahu anaknya adalah gadis manja yang selalu
dikasihinya. Ia tak rela setitik air mata jatuh di pipinya. Apalagi sebaris
duka mengalun dari suara buah hatinya. Inilah yang benar-benar harus di bayar
mahal. Karena Rafa tak lagi menjadi gadis yang pantas untuk dituruti setiap
kehendaknya, karena yang jalnnya telah menuju persimpangan yang jauh dan takkan
menemukan sebuah tanda. Tanda di mana ada kebahagiaan menyambut. Menyanyangi
anak bukan berarti kita memanjakan atau menuruti setiap yang ia suka.
Kalender di pojok ruang tamu telah
terkoyak. Yang tersisa hanya selembar bertuliskan Desember. Pertanda enam bulan
sudah Rafa di Jogja. Waktu telah memberi tanda dengan detik yang merangkai,
namun kesunyian tetap tak memberi jawaban apapun. Karena luka yang terlalu dalam
membekas begitu jelas dan sulit untuk disembuhkan. Rafa kini hanya sebait puisi
senja tanpa makna. Ia menghiasi setiap tengah malam sunyinya dengan linangan
air mata. Ayahnya yang begitu kuat memegang ajaran agama. Telah memberikan
jalan yang tak sempurna untuk kedua anaknya, Rafa dan Kholil. Kini mereka telah
menjadi pengabdi dunia. Dunia yang memberikan buaian semu dengan nada-nada
setan mengiasinya.
Rafa muncul di layar kaca. Ia
begitu sempurna bak dewi surga dengan selendang dan sayapnya. Tetapi apa yang
ia tampilkan justru menjadi penentu goresan takdir ayahnya. Ayah yang selalu
memberikan senyum dalam setiap duka, dan selalu menjadi cahaya dalam gulita
malamnya. Ia tak rela anak manjanya tampil tanpa hijab di kepalanya. Bukankah
ia akan dihakimi oleh setiap orang yang selalu membanggakannya. Ia selalu
mengajarkan bagaimana menutup aurat bagi seorang wanita. Justru anaknyalah yang
memberi duka. Lelaki itu tak kuasa menahan beban yang begitu berat. Tubuh
kurusnya jatuh tersungkur tanpa ada yang menahannya. Takdir telah menuliskan
cerita, cerita tentang lelaki tua yang mengakhiri hidunya dengan air mata. Ia
menyesali bukan karena salah mendidik anaknya. Ia menyesali karena ia tak tega
melihat air mata anaknya dan ia memanjakannya.
Dengan diiringi suara adzan dari
ujung suarau tua. Tempat di mana ia selalu tak pernah alpa untuk jamah yang
lima. Kini suara adzan menjadi iringan terakhirnya. Ia terbungkus oleh sebuah
kekecewaan anaknya. Penyesalan yang takkan bisa mengubah waktu, karena waktulah
yang telah menghukum dari sebuah kesalahan.
Selimut kain kaffan sebagai busana
yang terindah menuju pengadilan Tuhannya. Tetapi kedua anak kesayangannya tak
bisa memberikan ucapan selamat jalan. Mereka terlelap dengan dunianya. Dunia
yang tak lagi memberikan nafas rido Tuhannya. Kini pembaringan sunyi dengan
tanah sebagai bantalnya telah menjadi tempat yang akan dinikmati setiap yang
bernyawa. Tempat yang mungkin akan menyelamatkan atau justru menjadi raungan
dan perih tak terkira. Barzah dengan sejuta cerita tak mampu dilukiskan oleh
indahnya kata atau perihnya air mata.
Sebuah mobil mewah meluncur dengan
cepatnya. Namun mereka tak lagi mampu menapat wajah ayahnya. Orang yang menjadi
benteng kini telah tiada. Sedangkan ibunya sepuluh tahun telah mendahuluinya.
Kini status yatim piatu melekat pada mereka. Tetapi yang nampak tak ada
sedikitpun duka dari mereka. Mereka begitu merelakan ayahnya pergi untuk
selamanya.
“Rafa. Mengapa kau tak lagi memakai
hijab?”. Kata Kholil
“Apakah aku harus menjawab, Kak?”
Sahut wanita cantik itu.
“Kita punya agama yang mengharuskan
kita menutup aurat.” Menegaskan.
“Apakah Kakah pernah berpikir,
kalau aku mengikuti seperti Kakak.” Tegas Rafa.
“Maksudnya?” Jawab Kholil dengan
kebingungan.
“Bukankah Kakak menolak untuk ke
pesantren. Bukankah Kakak menolak sekolah di kampung. Bukankah Kakak menolak
menikah dengan seorang hafidzoh anak dari teman ayah di pesantren. Kakak lebih
memilih seorang kakak ipar yang berasal dari keluarga hebat dan dengan
kemampuan akdemik luar biasa. Walaupun Kakak tahu, ia tidak beragama. Rafa tahu
kalau Kakak tidak bahagiaa, karena Kakak lebih diatur oleh isteri. Bukankah
lelaki adalah pemimpin, Kak?” Sanggah Rafa yang memberi alasan.
“Kakah yang salah. Jika waktu bisa
kembali, maka Fatimahlah yang akan menjadi isteriku. Ia adalah seorang wanita
sholehah dengan kesederhanaannya, tetapi mampu menjadi cahaya yang menerangi
setiap jalanku. Jalan Kakak gelap. Setiap hari selalu mendengar makian dari
isteri Kakak, namun jika kakan ingin berpisah, bagaimana dengan Aisyah. Anak
semata wayang kami? Jelas Kholil.
“Ya sudahlah kita nikmati jalan
hidup kita. Semua yang terjadi sudah terjadi.” Balas Rafa.
“Ya, Afa. Besok pagi Kakak pulang.
Kakak iparmu sudah tidak betah di sini.” Jelasnya
“Hati-hati Kak?” Senyum Rafa sambil
berlalu.
“Langit
adalah tanda yang akan menuntun kita ke suatu masa. Cahaya yang hadir
memberikan sejuta rasa. Pernahkan kita berpikir kalau mentari dan purnama yang
menghiasinya akan lelah oleh ulah kita. Maka nafas tak pernah lagi ada. Setiap
pelangi yang hadir disaat senja hanya lukisan semu. Pancar keindahannya
mencipta sebuah rasa. Kekaguman atas Yang maha Kuasa. Sebelum semua berakhir,
pelangi tak dapat diraih seberapapun indahnya. Ketuklah pintu-Nya sebelum waktu
menghakimi kita.”
Celotehan manja anak yang
melantunkan ayat-ayat Tuhannya kini telah menjadi kesunyian. Tak ada lagi
kumandang adzan di kampung tua. Yang tersisa hanya sepenggal cerita. Cerita
yang harus dibayar darah dan air mata akhirnya.
Mujtahid
MTs Negeri 1 Cilacap
mujtahidnayottama@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar berupa kritik atau saran yang sifatnya membangun