Kontak Njenengan

Nama

Email *

Pesan *

Jumat, 20 Maret 2020

Cerpen religi



Embun Di Atas Ombak

Oleh Mujtahid


Seorang wanita yang dianggap hebat oleh dunia adalah karena karya kreatif mereka. Dengan sentuhan yang mengatasnamakan keindahan bisa menjadikan nilai seni yang tiada tara. Tetapi yang membuat mereka hancur dan tak menyadarinya, hanya karena tertutup oleh pesona dunia lewat tarian manja kemewahan yang menuntun mereka membuat sebuah keputusan untuk mengorbankan masa depan mereka  di keabadian. Lekuk tubuh yang seharusnya menjadi sesuatu yang tak layak menjadi konsumsi publikpun mereka rela ditebarkan dengan mengatsnamakan seni.
Rafa adalah bagian dari keindahan dunia yang terbungkus oleh kaca keimanan yang tak akan mampu ditembus oleh tangan-tangan setan. Aura surgawi melekat dalam dirinya. Wanita yang begitu sempurna dalam balutan ayat-ayat nan kaffah dari Sang penguasa keindahan. Ia terlahir dari seorang yang begitu memahami agama. Seorang kyai kampung yang mempunyai lebih dari seratus santri. Sebulan lalu tokoh parpol akan memberi bantuan dengan sebuah ikatan atas nama politik. Mereka menjanjikan dua lokal bangunan dengan fasilitas yang cukup memadai, namun dari balik bibir lelaki tua itu tak terlihat senyum. Ia nampak tak memberi respon akan bantuan tersebut. Sehingga para tokoh politik itu pergi dengan rasa malu. Ia tak menyadari kalau infaq dengan kontrak politik tidak akan memberikan berkah apa-apa. Di balik ruangan dan bilik yang terbuat dari bambu dan atap dari asbes hasil infaq wali santri akan memberi jaminan kebahagiaan.
Dengan sebuah tekad yang tak akan pernah dipikir oleh siapapun Rafa memberanikan diri untuk mengungkap sebuah misteri. Misteri yang mungkin tak akan pernah terpikir oleh ayahnya.
“Abah. Afa ingin sekolah di Yogya, Bah?” ucap wanita itu dengan nada penuh keraguan.
“Ada apa, Nak?” Jawab ayahnya dengan nada datar.
“Begini Bah. Afa ingin melanjutkan sekolah di SMA Negeri paling terkenal di Yogya.” Jawabnya.
“Terus siapa yang mengisi sekolah kita. Madrasah yang sekarang muridnya sudah memilih sekolah Negeri yang wah dibanding ilmu agama?” Tegas ayahnya dengan nada agak tinggi sambil berdiri.
“Tapi Afa ingin ikut seperti Mas Kholil.” Sahutnya cepat.
“Terus apa yang bisa dibanggakana dari Kholil. Ia sekarang sukses dengan dunianya, tetapi Ia lupa dengan jati dirinya. Yang Ia pikirkan hanya mengumpulkan banyak uang.” Ayah terkejut dengan tekad anaknya.
“Tapi Abah.” Sanggah remaja jelita itu.
“Tidak ada tapi. Engkau adalah wanita yang mungkin akan menjadi embun di kemarau panjang, atau oase di padang gersang. Yakinlah, jika kebahagiaanmu bukan karena mengejar dunia.” Ayah meyakinkan.
Rafa sekolah di Madrasah Aliyah Ma’arif dekat dengan rumahnya. Madrasah yang didirikan oleh infaq dari warga. Mereka bahu-membahu mengerjakannya, tanpa bantuan pemerintah sepeserpun. Namun Tahun lalu dari sekolah ini menjadi buah bibir, karena salah satu siswanya menjadi juara pidato bahasa Arab tingkat Provinsi. Dan yang lebih hebatnya. Sekolah kecil yang mampu mengalahkan sekolah almamater dari Kholil kakak kesayangannya. Dalam lomba olimpiade matematika tingkat provinsi, madrasah kecil dengan 76 siswa ini mampu membuat sejarah sebagai terbaik pertama mengalahkan sekolah-sekolah yang siswanya mencapai ribuan.
Rafa adalah sekeping permata yang harus terkontaminasi oleh peradaban. Lagi-lagi media sosial dan teknologi informasi yang menjadikannya tak lagi mencintai kitab-kitab yang ayahnya baca setiap hari di depan para santrinya. Ia lebih suka berselancar di dunia maya dengan iming-iming kepuasan batin. Apa yang ia cari dalam sesaat sudah bisa ia nikmati. Walaupun itu semua semu.
Kehebatan ayahnya dalam bidang agama tak menjadikannya seorang yang dekat dengan Tuhannya. Ia lebih memilih gemerlap dunia dengan sejuta pesona semunya. Mimpi-mimpi dan doa yang keluarganya panjatkan tak terbalas oleh takdir dari Tuhannya. Mungkinkah ia akan menjadi Kan’an di era modern. Seorang anak yang menantang kehendak dan rido dari kedua orang tuanya. Bukankan rido Tuhan tertulis atas rido orang tuanya. Inilah yang mungkin menjadi sebuah pembungkus takdir yang tak kenal rupa. Ia akan menyusup di antara kehendak yang hadir dari nafsu. Rafa telah dibuatakan oleh keinginan semu.
Air mata pagi itu dengan iringan hujan yang menghapus sucinya embun di atas pucuk ilalang. Tak lagi ada sebuah harapan yang muncul dari seorang ayah atas anaknya. Anak yang memilih dunianya. Ia tahu bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga, namun juga ia tak tega melihat pertunjukkan cerita duka. Air mata dari seorang dara yang amat dikasihinya. Ia benar-benar telah meremukkan segala rasa atas diri dan hatiny. Dengan memikul beban di hati yang kian menahan, lelaki tua itupun luluh oleh kehendak anaknya. Rafa pergi ke Jogja untuk mengejar cerita indahnya, walaupun dalam simpul yang mengikat dengan keraguan ayahnya.
Nasi telah menjadi bubur, dan air mata yang jatuh takkan lagi bisa dipungut oleh apapun. Masa yang datang dengan sejuta ujian terus mengancam. Di altar nan suci dengan alunan doa dan air mata yang terus menjadi penghias cerita. Rafa telah menjadi gadis manja yang tak alagi memegang teguh ajaran ayahnya. Ia bergaul dengan mengatasnamakan modern dan trend. Jilbab yang selalu menghiasi wajah ayunya berubah menjadi angker. Karena yang nampak hanya segaris lipstik dengan rona merah di pipinya. Tak lagi air wudhu membasahi di waktu pagi, ketika 2 rekaat sholat duha menjadi detak jantungnya. Ia telah hilang kemudi.
Ayahnya tak pernah tahu apa yang dilakukan Rafa. Karena yang ia tahu anaknya adalah gadis manja yang selalu dikasihinya. Ia tak rela setitik air mata jatuh di pipinya. Apalagi sebaris duka mengalun dari suara buah hatinya. Inilah yang benar-benar harus di bayar mahal. Karena Rafa tak lagi menjadi gadis yang pantas untuk dituruti setiap kehendaknya, karena yang jalnnya telah menuju persimpangan yang jauh dan takkan menemukan sebuah tanda. Tanda di mana ada kebahagiaan menyambut. Menyanyangi anak bukan berarti kita memanjakan atau menuruti setiap yang ia suka.
Kalender di pojok ruang tamu telah terkoyak. Yang tersisa hanya selembar bertuliskan Desember. Pertanda enam bulan sudah Rafa di Jogja. Waktu telah memberi tanda dengan detik yang merangkai, namun kesunyian tetap tak memberi jawaban apapun. Karena luka yang terlalu dalam membekas begitu jelas dan sulit untuk disembuhkan. Rafa kini hanya sebait puisi senja tanpa makna. Ia menghiasi setiap tengah malam sunyinya dengan linangan air mata. Ayahnya yang begitu kuat memegang ajaran agama. Telah memberikan jalan yang tak sempurna untuk kedua anaknya, Rafa dan Kholil. Kini mereka telah menjadi pengabdi dunia. Dunia yang memberikan buaian semu dengan nada-nada setan mengiasinya.
Rafa muncul di layar kaca. Ia begitu sempurna bak dewi surga dengan selendang dan sayapnya. Tetapi apa yang ia tampilkan justru menjadi penentu goresan takdir ayahnya. Ayah yang selalu memberikan senyum dalam setiap duka, dan selalu menjadi cahaya dalam gulita malamnya. Ia tak rela anak manjanya tampil tanpa hijab di kepalanya. Bukankah ia akan dihakimi oleh setiap orang yang selalu membanggakannya. Ia selalu mengajarkan bagaimana menutup aurat bagi seorang wanita. Justru anaknyalah yang memberi duka. Lelaki itu tak kuasa menahan beban yang begitu berat. Tubuh kurusnya jatuh tersungkur tanpa ada yang menahannya. Takdir telah menuliskan cerita, cerita tentang lelaki tua yang mengakhiri hidunya dengan air mata. Ia menyesali bukan karena salah mendidik anaknya. Ia menyesali karena ia tak tega melihat air mata anaknya dan ia memanjakannya.
Dengan diiringi suara adzan dari ujung suarau tua. Tempat di mana ia selalu tak pernah alpa untuk jamah yang lima. Kini suara adzan menjadi iringan terakhirnya. Ia terbungkus oleh sebuah kekecewaan anaknya. Penyesalan yang takkan bisa mengubah waktu, karena waktulah yang telah menghukum dari sebuah kesalahan.
Selimut kain kaffan sebagai busana yang terindah menuju pengadilan Tuhannya. Tetapi kedua anak kesayangannya tak bisa memberikan ucapan selamat jalan. Mereka terlelap dengan dunianya. Dunia yang tak lagi memberikan nafas rido Tuhannya. Kini pembaringan sunyi dengan tanah sebagai bantalnya telah menjadi tempat yang akan dinikmati setiap yang bernyawa. Tempat yang mungkin akan menyelamatkan atau justru menjadi raungan dan perih tak terkira. Barzah dengan sejuta cerita tak mampu dilukiskan oleh indahnya kata atau perihnya air mata.
Sebuah mobil mewah meluncur dengan cepatnya. Namun mereka tak lagi mampu menapat wajah ayahnya. Orang yang menjadi benteng kini telah tiada. Sedangkan ibunya sepuluh tahun telah mendahuluinya. Kini status yatim piatu melekat pada mereka. Tetapi yang nampak tak ada sedikitpun duka dari mereka. Mereka begitu merelakan ayahnya pergi untuk selamanya.
“Rafa. Mengapa kau tak lagi memakai hijab?”. Kata Kholil
“Apakah aku harus menjawab, Kak?” Sahut wanita cantik itu.
“Kita punya agama yang mengharuskan kita menutup aurat.” Menegaskan.
“Apakah Kakah pernah berpikir, kalau aku mengikuti seperti Kakak.” Tegas Rafa.
“Maksudnya?” Jawab Kholil dengan kebingungan.
“Bukankah Kakak menolak untuk ke pesantren. Bukankah Kakak menolak sekolah di kampung. Bukankah Kakak menolak menikah dengan seorang hafidzoh anak dari teman ayah di pesantren. Kakak lebih memilih seorang kakak ipar yang berasal dari keluarga hebat dan dengan kemampuan akdemik luar biasa. Walaupun Kakak tahu, ia tidak beragama. Rafa tahu kalau Kakak tidak bahagiaa, karena Kakak lebih diatur oleh isteri. Bukankah lelaki adalah pemimpin, Kak?” Sanggah Rafa yang memberi alasan.
“Kakah yang salah. Jika waktu bisa kembali, maka Fatimahlah yang akan menjadi isteriku. Ia adalah seorang wanita sholehah dengan kesederhanaannya, tetapi mampu menjadi cahaya yang menerangi setiap jalanku. Jalan Kakak gelap. Setiap hari selalu mendengar makian dari isteri Kakak, namun jika kakan ingin berpisah, bagaimana dengan Aisyah. Anak semata wayang kami? Jelas Kholil.
“Ya sudahlah kita nikmati jalan hidup kita. Semua yang terjadi sudah terjadi.” Balas Rafa.
“Ya, Afa. Besok pagi Kakak pulang. Kakak iparmu sudah tidak betah di sini.” Jelasnya
“Hati-hati Kak?” Senyum Rafa sambil berlalu.

“Langit adalah tanda yang akan menuntun kita ke suatu masa. Cahaya yang hadir memberikan sejuta rasa. Pernahkan kita berpikir kalau mentari dan purnama yang menghiasinya akan lelah oleh ulah kita. Maka nafas tak pernah lagi ada. Setiap pelangi yang hadir disaat senja hanya lukisan semu. Pancar keindahannya mencipta sebuah rasa. Kekaguman atas Yang maha Kuasa. Sebelum semua berakhir, pelangi tak dapat diraih seberapapun indahnya. Ketuklah pintu-Nya sebelum waktu menghakimi kita.”

Celotehan manja anak yang melantunkan ayat-ayat Tuhannya kini telah menjadi kesunyian. Tak ada lagi kumandang adzan di kampung tua. Yang tersisa hanya sepenggal cerita. Cerita yang harus dibayar darah dan air mata akhirnya.
                                
Mujtahid
MTs Negeri 1 Cilacap
mujtahidnayottama@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar berupa kritik atau saran yang sifatnya membangun

Sastra adalah Nafasku

SPMB MTsN 1 CILACAP 2025/2026

 SPMB MTsN 1 CILACAP 2025/2026 Jalur penerimaan peserta didik baru MTsN 1 Cilacap TP 2025/2026 sebanyak 306 siswa atau 9 kelas terdiri 1 kel...