Kontak Njenengan

Nama

Email *

Pesan *

Minggu, 05 April 2020

CERPEN "Lima Belas Lembar Doa"


Lima Belas Lembar Doa
Oleh Mujtahid

Belakang ini Revalista terdiam, sepertinya kesepian dan keresahan  terlihat disetiap selimuti wajah ayunya yang memancarkan pesona surgawi. Adakah sesuatu yang hilang atau dirampas darinya. Gadis berkulit putih dan bertubuh agak kurus tinggi ini membisu terdampar di antara bangu-bangku kelas yang agar berserakan. Tidak seperti janji pelajar yang diucapkan setiap upacara oleh seluruh siswa, namun nyatanya keadaan kelas dan sikap siswa banyak yang bertentangan dengan janji yang diucapkan. Dia seorang diri di ruangan itu, padahal jam pulang sekolah sudah sejam berlalu. Sepertinya Ia sedang resah menunggu seseorang.
Sepuluh menit telah berlalu terbuang percuma, namun tak membuat gadis ayu bicara dan bergeming dari tempat duduknya, kesunyian tetap menyelimuti ruangan itu yang sesekali terdengar semayup suara jarum jam yang tak lelah menguji. Dengan rangkaian detik yang seakan memberi tanda bahwa sang waktu telah lelah menemani manusia yang telah jauh dari kata bersyukur.
Gadis cantik ini sepertinya mulai resah dengan keadaan, karena dari arah yang tidak begitu jauh terdengar suara adzan panggilan waktu maghrib, dia sadar betul kalau seorang yang mengabaikan panggilan adzan termasuk ke dalam golongan yang paling dibenci oleh Allah, selain dua hal lain yaitu pemimpin yang dibenci rakyatnya dan wanita yang tidak taat kepada suaminya. Kekuatan untuk memenuhi panggilan waktu shalat kalah oleh keadaan. Hatinya tidak mampu memerintahkan kaki untuk berdiri. Lagi-lagi gadis itu tetap membisu. Seperti ada bara yang menyekam di dadanya, yang setiap waktu bisa meledak.
Gelap telah menutupi sebagian muka bumi pertanda malam menjelang. Suasana makin memncekam ketika dari luar ruangan terdengar langkah kaki mendekati ruangan kelas yang bertuliskan kelas IX G. Ruangan di mana Revalista berada. Hati gadis itu makin tidak menentu ketika pintu ruangan itu dibuka dengan hati-hati oelah seorang lelaki tua berumur lima puluh tahunan. Pak Amir, guru kesayangan semua siswa di sekolah ini. Dia memberi contoh yang baik kepada semua siswa. Lantas apa yang ia ingin perbuat di ruangan gelap dengan seorang gadis yang merupakan muridnya itu. Sebuah amplop kecil berisi lima belas lembar uang ratusan ribu disodorkan kearah Reva, tanpa ragu ia menyambarnya.
“ Pak ibuku sedang sakit. Beliau butuh berobat “. Ucap Reva dengan intonasi yang sangat lemah.
Kamu sayang kepada ibumu kan? “.  Sahut lelaki tua itu tanpa basa-basi.
“ Iya pak! Bapak boleh meminta apa saja“. Ucap Reva dengan nada memelas.
Tiba-tiba lelaki tua itu menuntun tangan gadis itu menuju ke sebuah ruangan bertuliskan hurf kaligrafi unik  yang di dalamnya terlihat banyak mukena, sarung dan hamparan sajadah.
Waktu menunjukan pukul empat sore. Usai sudah pertunjukan seorang anak manusia yang benar-benar menyanyangi orang tuanya. Seorang wanita yang rela melakukan apapun yang penting keselamatan orangtuanya menjadi prioritas utama.
Raut kepedihan menghiasi langkah Reva yang tertatih meninggalkan sekolah. Rasa bahagia dan takut bercampur dalam hatinya. Namun yang terpikir dalam benaknya, hanya kesehatan seorang yang telah melahirkannya
Empat puluh hari berlalu, namun keadaan ibu Reva tidak juga membaik, bahkan semakin bertambah parah saja. Namun apa yang ditakutkan oleh sorang anak benar-benar terjadi. Seorang ibu yang rido dan surga ada padanya telah memberi ucapan perpisahan lewat sebuah pesan di malam kelam.
Setiap manusia terlahir dengan sebuah tujuan, jika sebuah tujuan tidak seperti apa yang ia inginkan, maka yang terjadi hanyalah sebuah kepedihan. Gelapnya malam tak akan menjdi obat baginya dalam melalui kesunyian, kecuali mereka yang ingat akan pelabuahan akhir hidup mereka yaitu Rido sang Tuhan.”
Karena tiada lagi yang harus ia lakukan, gadis lugu itu akhirnya berniat menemui  Pak Amir, lelaki yang memberikan ia biaya berobat. Setelah istirahat kedua ia bergegas menuju ruangan lelaki tua itu. Lewat secari kertas ia ingin memberitahukan tentang uang yang ia pinjam, sampai sat ini belum bisa mengembalikan. Pak Amir saat itu sedang rapat menurut Bu Siti Fadilah guru bahasa Indonesia yang duduk di sebelah meja Pak Amir. Entah apa yang menuntun wanita itu untuk membuka surat tersebut, ternyata sebuah surat untuk meminta penangguhan utang. Wanita yang menjadi guru lebih dari lima belas tahun ini tetapi belum mendapat tunjangan profesi, apalagi sebagai pegawai negeri sipil. Tetapi lagi-lagi karena hati yang berbicara, yaitu mengajar bukanlah sebuah kewajiban untuk mendapat hak atas gaji, tetapi lebih dari itu, yaitu keikhlasan. Maka guru ini tidak pernah arogan memberikan tugas kepada siswa berlebihan, apalagi menggosip atau terbang ke dunia maya di ruang guru, sementara siswanya menulis di kelas dengan sebareg tugas.
Lima belas lembar uang ratusan ribu dari gaji dua bulan Bu Siti dimasukkan ke dalam amplop tersebut dengan bertuliskan nama Revalista sebagai uang pelunasan. Revalista adalah seorang siswa yang penuh keterbatasan, namun dalam keterbatasan ia mampu memberikan sebuah bukti. Bukan piala, nilai yang bagus atau kejuaraan yang ia persembahkan, melainkan bakti kepada ibunda tercinta. Maka seorang guru hendaknya tidak menilai seorang siswa hanya karena sikapnya di sekolahan, tetapi lihatlah latarbelakang mereka yang begitu komplek.
Doa dari seorang siswa yang terkirim kepada seorang manusia yang memberikan bantuan tanpa berlebel nama. Tangan kanan memberi, sementara tangan kiri bersembunyi. Membukakan pintu langit senja. Ibu Siti Fadilah meninggal dalam keterbatasan keluarganya yang hidup dengan seadanya. Menjadi guru dengan mengajarkan keikhlasan kepada siswanya. Pilar-pilar masjid Al-Fatah menjadi saksi sebuah cerita akhirnya. Seorang guru meninggal dalam keadaan bersujud kepada-Nya.
Tekanan hidup yang diberikan Allah kepada manusia bisa menjadi sebuah obat agar kita tetap bertaqwa, namun sebaliknya, harta dan kekayaan bisa menjadi bencana dan malapetaka. Bukankah ujian kemiskinan banyak orang yang lulus melaluinya, tetapi ujian kekayaan banyak dari mereka tak mampu melewatinya.
Revalista dan Siti Fadillah menjadi bukti bahwa keikhlasan merupakan kebahagiaan yang tak terhitung angka. Karena sejatinya hidup ini tidak akan terhitung oleh angka-angka, apalagi rejeki yang Allah berikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar berupa kritik atau saran yang sifatnya membangun

Sastra adalah Nafasku

Raimuna Ranting Majenang 2023

 MUJTAHID MEMBERIKAN PIALA BERGILIR PENTAS SENI BUDAYA Sebagai pengurus DKR 2 periode (2001-2007) Mujtahid yang sekarang bertugas di MTsN 2 ...