“ Lima
Belas Lembar Doa”
Oleh Mujtahid
Belakang ini Revalista terdiam, sepertinya kesepian dan keresahan terlihat disetiap selimuti wajah ayunya yang memancarkan pesona surgawi.
Adakah sesuatu yang hilang atau dirampas darinya. Gadis berkulit putih dan bertubuh
agak kurus tinggi ini membisu terdampar di antara
bangu-bangku kelas yang agar berserakan. Tidak seperti janji pelajar yang diucapkan setiap upacara oleh seluruh
siswa, namun nyatanya keadaan kelas dan sikap siswa banyak yang bertentangan
dengan janji yang diucapkan. Dia seorang diri di ruangan itu, padahal jam pulang sekolah sudah sejam berlalu. Sepertinya Ia sedang resah menunggu seseorang.
Sepuluh menit telah berlalu terbuang percuma, namun tak membuat gadis ayu bicara dan bergeming dari
tempat duduknya, kesunyian tetap menyelimuti ruangan itu yang sesekali
terdengar semayup suara jarum jam yang tak lelah menguji. Dengan rangkaian detik yang seakan memberi tanda
bahwa sang waktu telah lelah menemani manusia yang telah jauh dari kata
bersyukur.
Gadis cantik ini sepertinya mulai resah dengan keadaan, karena dari arah
yang tidak begitu jauh terdengar suara adzan panggilan waktu maghrib, dia sadar
betul kalau seorang yang mengabaikan panggilan adzan termasuk ke dalam golongan yang paling dibenci oleh Allah,
selain dua hal lain yaitu pemimpin yang dibenci rakyatnya dan wanita yang tidak
taat kepada suaminya. Kekuatan untuk memenuhi panggilan waktu shalat kalah oleh
keadaan. Hatinya tidak mampu memerintahkan kaki untuk berdiri. Lagi-lagi gadis
itu tetap membisu. Seperti ada bara
yang menyekam di dadanya, yang setiap waktu bisa meledak.
Gelap telah menutupi sebagian muka bumi pertanda malam menjelang. Suasana
makin memncekam ketika dari luar ruangan terdengar langkah kaki mendekati
ruangan kelas yang bertuliskan kelas IX G. Ruangan di mana
Revalista berada. Hati gadis itu makin tidak menentu ketika pintu ruangan itu
dibuka dengan hati-hati oelah seorang lelaki tua berumur lima puluh tahunan.
Pak Amir, guru kesayangan semua siswa di sekolah
ini. Dia memberi contoh yang baik kepada semua siswa. Lantas apa yang ia ingin
perbuat di ruangan gelap dengan
seorang gadis yang merupakan muridnya itu. Sebuah amplop kecil berisi lima belas lembar uang ratusan ribu
disodorkan kearah Reva, tanpa ragu ia
menyambarnya.
“ Pak ibuku sedang sakit. Beliau
butuh berobat “. Ucap Reva dengan intonasi yang sangat lemah.
“ Kamu sayang kepada ibumu
kan? “. Sahut lelaki tua itu
tanpa basa-basi.
“ Iya pak! Bapak boleh meminta
apa saja“. Ucap Reva dengan nada memelas.
Tiba-tiba lelaki tua itu menuntun tangan gadis itu menuju ke sebuah ruangan bertuliskan hurf kaligrafi unik yang di dalamnya terlihat banyak mukena, sarung dan hamparan sajadah.
Waktu menunjukan pukul empat
sore. Usai sudah pertunjukan
seorang anak manusia yang benar-benar menyanyangi orang tuanya. Seorang wanita yang rela melakukan apapun yang
penting keselamatan orangtuanya menjadi prioritas utama.
Raut kepedihan menghiasi langkah Reva yang tertatih meninggalkan sekolah.
Rasa bahagia dan takut
bercampur dalam hatinya. Namun yang terpikir dalam benaknya, hanya kesehatan
seorang yang telah melahirkannya
Empat puluh hari berlalu, namun keadaan ibu Reva tidak juga membaik,
bahkan semakin bertambah parah saja. Namun apa yang ditakutkan oleh sorang anak benar-benar terjadi. Seorang ibu yang rido dan surga ada
padanya telah memberi ucapan perpisahan lewat sebuah pesan di malam kelam.
“Setiap manusia terlahir dengan sebuah tujuan, jika sebuah tujuan tidak
seperti apa yang ia inginkan, maka yang terjadi hanyalah sebuah kepedihan. Gelapnya
malam tak akan menjdi obat baginya dalam melalui kesunyian, kecuali mereka yang
ingat akan pelabuahan akhir hidup mereka yaitu Rido sang Tuhan.”
Karena tiada lagi yang harus ia lakukan, gadis lugu itu akhirnya berniat
menemui Pak Amir, lelaki yang memberikan ia biaya berobat.
Setelah istirahat kedua ia bergegas menuju ruangan lelaki tua itu. Lewat secari
kertas ia ingin memberitahukan tentang uang yang ia pinjam, sampai sat ini belum bisa mengembalikan. Pak
Amir saat itu sedang rapat menurut Bu Siti Fadilah guru bahasa Indonesia yang duduk di sebelah meja Pak Amir. Entah apa yang menuntun wanita itu untuk membuka
surat tersebut, ternyata sebuah surat untuk meminta penangguhan utang. Wanita
yang menjadi guru lebih dari lima belas tahun ini tetapi belum mendapat
tunjangan profesi, apalagi sebagai pegawai negeri sipil. Tetapi lagi-lagi
karena hati yang berbicara, yaitu mengajar bukanlah sebuah kewajiban untuk
mendapat hak atas gaji, tetapi lebih dari itu, yaitu keikhlasan. Maka guru ini
tidak pernah arogan memberikan tugas kepada siswa berlebihan, apalagi menggosip
atau terbang ke dunia maya di ruang guru, sementara siswanya menulis di kelas
dengan sebareg tugas.
Lima belas lembar uang ratusan
ribu dari gaji dua bulan Bu Siti dimasukkan ke dalam amplop tersebut dengan
bertuliskan nama Revalista sebagai uang pelunasan. Revalista adalah seorang siswa yang penuh
keterbatasan, namun dalam keterbatasan ia mampu memberikan sebuah bukti. Bukan
piala, nilai yang bagus atau kejuaraan yang ia persembahkan, melainkan bakti
kepada ibunda tercinta. Maka seorang guru hendaknya tidak menilai seorang siswa
hanya karena sikapnya di sekolahan, tetapi lihatlah latarbelakang mereka yang
begitu komplek.
Doa dari seorang siswa yang
terkirim kepada seorang manusia yang memberikan bantuan tanpa berlebel nama.
Tangan kanan memberi, sementara tangan kiri bersembunyi. Membukakan pintu langit senja. Ibu Siti Fadilah
meninggal dalam keterbatasan keluarganya yang hidup dengan seadanya. Menjadi
guru dengan mengajarkan keikhlasan kepada siswanya. Pilar-pilar masjid Al-Fatah
menjadi saksi sebuah cerita akhirnya. Seorang guru meninggal dalam keadaan
bersujud kepada-Nya.
Tekanan hidup yang diberikan
Allah kepada manusia bisa menjadi sebuah obat agar kita tetap bertaqwa, namun
sebaliknya, harta dan kekayaan bisa menjadi bencana dan malapetaka. Bukankah
ujian kemiskinan banyak orang yang lulus melaluinya, tetapi ujian kekayaan
banyak dari mereka tak mampu melewatinya.
Revalista dan Siti Fadillah
menjadi bukti bahwa keikhlasan merupakan kebahagiaan yang tak terhitung angka.
Karena sejatinya hidup ini tidak akan terhitung oleh angka-angka, apalagi
rejeki yang Allah berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar berupa kritik atau saran yang sifatnya membangun